Si no.3 adalah julukan yang
aku berikan untuk dia. Lelaki yang sejak 7 juni 2010 menjadi pusat perhatianku.
Bukan tanpa alasan tentunya, itu karena aksi-aksinya di lapangan syang membuat
otak ini hanya terisi oleh bayangan tentang dirinya.
Aksi jungkir
baliknya di lapangan berukuran 18 m x 9 m itu benar-benar membuatku
terkagum-kagum. Iya, tentu saja hal itu dia lakukan untuk mempertahankan
gawangnya dari serangan lawan yang tak kalah ganasnya dengan cara dia bermain.
Kekagumanku pada
pemain bertubuh mungil itu tak hanya sampai disana, sikap sabarnya ketika dia
terbangun dari jatuh membuat ku semakin mengaguminya. Apalagi tatkala dia
melontarkan senyuman kecil di bibir sexy-nya itu pada lawan yang
telah membantunya berdiri. Pikirku telah memvonis bahwa dia adalah sosok lelaki
yang ferfect.
Sesekali lelaki
bercelana hitam itu mengusap keringat yang mulai memeleh di wajah mungilnya
dengan lengan baju berwarna merah yang melekat di badan kurusnya. Sepatu
olahraga berwarna coklat yang dipakainya membuat penampilannya semakin cool.
Kakinya yang panjang semampai berotot itu benar-benar lincah dalam memainkan
bola. Terkadang lelaki bersepatu coklat itu gagal menerima bola yang dioperkan
teman satu teamnya. Saat itu yang bisa ku lihat dari ekspresi wajah
imutnya adalah kemarahan bercampur kekecewaan. Kulit dahi yang terlipat adalah
bukti dari perasaannya yang terpendam itu.
Terkadang lelaki
berlengan baju merah itu berusaha menenangkan teman satu teamnya dari panasnya
suasana di tengah lapang. Tentu saja bukan karena panas sinar matahari yang
tepat berada di atas ubun-ubun, melainkan dari emosi yang telah membara akibat
kecurangan ataupun pelanggaran yang menurut mereka seperti itu adanya. Entahlah
aku tak mengerti dengan hal itu. Yang jelas saat itu tingkah si no.3 lah yang
menjadi objek perhatianku.
Peluit tanda
berakhirnya babak pertama yang berdurasi 15 menit itu telah dibunyikan. Kedua
belah team meninggalkan lapangan, begitupun dengan si no.3.
Lelaki bertubuh mungil itu berjalan sedikit terpincang-pincang dan wajahnya
yang imut itu tampak menahan rasa sakit. Mataku terus memburu kemanapun lelaki
yang ku juluki si no.3 itu pergi. Terkadang aku tak sadar memandanginya dengan
tersenyum-senyum sendiri.
“Haduh …..ada apa
dengan diriku ini?” kata-kata itulah yang
selanjutnya terlintas dalam lamunanku tatkala aku memandanginya.
“ingat teman, kita
adalah team, kita disini untuk bertanding dan menjadi juara bukan untuk mencari
masalah, jadi aku mohon pada kalian semua kita harus bias bermain tenang dan
tahan emosi kalian”. Terdengar kata-kata itu
diucapkan lelaki yang tak asing bagiku. Ya, lelaki yang pernah satu kelas denganku
saat kami berada di bangku Sekolah Menengah Pertama tepat tiga tahun yang lalu.
Nampaknya dia adalah captain team si no.3, hal itu
bisa ku simpulkan dari ban captain yang terpasang rapi di
tangan atas kanannya. Semantara kelima teman yang mengitarinya hanya
mengangguk, mungkin itu adalah tanda bahwa mereka telah mengerti dengan ucapan
pemimpin mereka itu.
“Priwiiiiiit……..!” terdengar suara peluit yang ditiupkan oleh wasit, pertanda babak
kedua siap dimulai. Kedua team memasuki lapangan yang dipagari
oleh ratusan pasang mata itu dengan semangat. Ku lihat lelaki incaran ku itu
masih berjalan terpincang-pincang memasuki lapangan. Ingin rasanya aku melarang
dia untuk bermain dan meneruskan pertandingan, namun apa daya “siapa
loe siapa gua?” mungkin kata-kata itulah yang akan dilontarkannya
padaku.
Aku pun turut
menyoraki kedua team dengan penuh semangat, meskipun terselip
rasa kekawatiranku pada keadaan idolaku itu. Aku hanya berharap semoga dia bisa
bertanding dengan baik.
Gemuruh sorakan
penonton menjadi tolak ukur dimulainya babak kedua. Tendangan dari tengah
lapangan telah ditembakan oleh seorang pemain dari team yang
tertinggal satu angka. Tapi, tidak semudah itu, tepat 1,5 meter di depan gawang team lain
telah berdiri dua orang pemain sebagai pagar agar bola tak masuk ke gawang.
Babak kedua
berjalan lebih panas. Bagaimana tidak, pertandingan ini adalah penentuan juara
pertama dari pertandingan yang diadakan oleh sekolahku. Tentu saja kedua team berjuang
dengan keras dan susah payah untuk mendapatkan gelar juara. Emosi mulai
memanas, tak hanya di tengah lapangan tapi juga di luar lapangan. Supporter kedua
belah team bersorak sorai menyemangati, bahkan terdengar
celetukan-celetukan yang tidak enak. Namun itulah yang menjadi faktor semakin
serunya pertandingan.
Keadaan yang
semakin memanas itu tak sedikitpun dihiraukan olek lelaki yang ku juluki si
no.3 itu. Dia nampai kalem dalam mengontrol bola, sekalipun lawannya selalu
berusaha menumbangkannya. Larinya sedikit lebih lamban dari babak pertama. Itu
pasti karena cedera yang menimpa kakinya.
Di babak kedua aku
hampir saja mengetahui nama lelaki yang ku juluki si no.3 itu. Tapi angin lalu
yang ikut menyemarakan pertandingan hari itu cepat-cepat mengusir susunan
alfhabet penyusun nama dia. Tapi itu bukan masalah. Yang penting aku harus
mengumpulkan ebergi agar aku dapat terus bersorak untuk menyemangatinya.
Dengan
terpincang-pincang dia terus memainkan bola. Meskipun tak satu bolapun
dapat dia masukkan ke gawang lawan. Hal itu tak membuat hatiku mundur, malah
aku semakin kagum padanya.
Tembakan kaki
kanannya sudah semakin melemah. Keringatnyapun sudah bercucuran di wajah cool-nya
itu. Rambutnya yang tebal kini telah kalang kabut dan jalannya semakin
terpincang-pincang. Wajahnya seringkali menampakkan raut kesakitan. Namun tak
ada satu orang pemainpun yang turun untuk menggantikannya.
Peluit terlah
berbunyi menandakan pertandingan telah berakhir. Teman-teman satu team-nya
berlari dengan penuh rasa gembira menyambut keenam teman mereka yang telah
berhasil menjadi juara dalam laga hari ini. Disisi lain terdengar gerutu
kekesalan dari team yang kalah. Terlihat lelaki yang ku juluki
si no.3 itu berjalan dibopong salah seorang temannya ke pinggir lapangan.
Lelaki bercelana hitam itu duduk di samping dus yang berisi air mineral.
Diambilnya air mineral dari dari dalam kardus berbentuk persegi panjang itu.
Diminumnya air mineral itu dan sisanya dia siramkan ke rambut dan wajah cool-nya.
Dikibaskannya rambut yang basah itu, sembari diikuti senyuman kecil yang
terselip di ujung bibirnya.
Terlihat seorang
lelaki yang bernomor punggung 70 mendekatinya. Ku lihat lelaki bernomor
punggung 70 itu mengurut si no.3. Wajah cool-nya sedikit berubah
menjadi rintihan menahan sakit. Kejadian itu hanya berlangsung kurang lebih
selama tiga menit.
Rintik hujan yang
turun mengiringi langkah kaki lelaki yang ku juluki si no.3 itu hingga lenyap
ditelan semak yang berdiri tepat di samping kelasku. Mataku terus menerawang
jauh ke balik semak itu memastikan lelaki si no.3 tak terlihat lagi.
Mata nakal ku telah
puas melihat aksi-aksi yang diperlihatkan oleh lelaki yang ku juluki si no.3
itu. Dan akupun baru menyadari bahwa aku sudah mulai menyukainya. Si no.3 yang
mempesona.
- 01
november 2010 -
Tati Suryati
0 komentar:
Posting Komentar