A. Pengertian.
1. Legislatif.
Lembaga
legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki
kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminology
fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Istilah lembaga
legislative dalam Islam lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa al-‘aqd.
Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memusatkan dan
mengikat. Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang
yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama
umat, dengan kota lain ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang
menampung dan menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Di era modern sekarang,
lembaga ini di kenal dengan parlemen/DPR khususnya di Indonesia.
Para ahli fiqh
Siyasah dalam menamai istilah Ahl-al-Halli wa al-‘aqd berbeda-beda. Al-Mawardi
misalnya ia memyembunyikan lembaga ini ini dengan ahl-Ikhtiyar karena mereka
dianggap kualifikasi tertentu dan mewakili aspirasi umat untuk memiliki
khalifah yang hanya sampai pada garis terpilihnya calon iman.
Adapun dalam
pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat
banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan
pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat. Para
ahli fiqh Siyasah memberikan beberapa alasan dalam pelembagaan ini, adalah:
a. Musyawarah
hanya bisa dilakukan dengan jumlah peserta terbatas.
b. Kewajiban
taat kepada Ulil Amri baru mengikat apabila pemimpin itu di pilih
c. Ajaran Islam sendiri menerangkan seperlunya
pembentukan masyarakat.
d. Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hanya bisa
dilakukan apabila lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara
pemerintah dan rakyat.
e. Rakyat secara individu tidaklah bisa
dikumpulkan untuk melakukan masyarakat dalam satu tempat, mereka tertentu tidak
mampu mengemukakan pendapat dalam masyarakat akibatnya akan mengganggu
aktivitas kehidupan bermasyarkat.
2. Eksekutif
Eksekutif yaitu
suatu badan pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk menyeleggarakan
pemerintahan dan perundang-undang. Dalam system kabinet presidensial, presiden
disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala
eksekutif.
3. Yudikatif.
Dalam kamus umum
ilmu politik, Yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas
dan wewenang peradilan.
B. Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Islam
1. Kekuasaan
Legislatif
Dalam sistem
pemerintahan Islam, khalifah adalah pemegang kendali pemimpin umat segala jenis
kekuasaan berpuncak padanya dan segala garis politik agama dan dunia bercabang
dari jabatannya, karena itulah khalifah merupakan kepada pemerintahannya yang
bertugas menyelenggarakan undang-undang untuk menegakkan Islam dan mengurus
Negara dalam bingkai Islam.
Kewenangan
khalifah sebagai kepala eksekutif, adalah:
a. Mengangkat
dan memecat para pejabat tinggi
b. Membimbing dan mengawasi pekerjaan mereka.
c. Memimpin
angkatan perang.
d. Mengumumkan
perang.
e. Mendatangani
perjanjian damai.
Kekuasaan
legislatif dalam Islam merupakan kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam
untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat
berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Dengan demikian
unsur legislatif dalam Islam, adalah:
a.
Pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam
masyarakat Islam.
b.
Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
c.
Isi peraturan atau
hukum ini sendiri harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam.
Kekuasaan
legislatif dalam teori Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi dalam negara.
Disamping diwajibkan memilih kepala negara, legislatif juga menempatkan
undang-undang dan ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif ini akan
dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan diperintahkan oleh
lemba eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.
Dalam Al-qur’an
di terangkan bahwa jika Allah dan Rasulnya telah memberi peraturan didalam
suatu masalah. Tidak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai
pendapatnya sendiri, karena menetapkan syari’at hanyalah wewenang Allah
sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 38, yang berbunyi:
وَقَالَ
فِرْعَوْنُ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي
أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ(38)
Dan berkata
Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku
bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".
Dari perintah
diatas timbul prinsip bahan lembaga legislatif dalam negara Islam sama sekali
tidak berhak membuat perundang-undang yang bertentangan dengan tuntutan Allah
dan rasulnya dalam semua cabang legislatif. Meskipun disahkan oleh lembaga
legislatif harus secara ipso facto dianggap ultravires dari undang-undang
dasar.
Jadi tugas dan
wewenang lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami sumber syariat
Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits dan menjelaskan hukum yang berkembang di
dalamnya.
As-Maududi secara umum berpandangan bahwa fungsi legislatif adalah:
As-Maududi secara umum berpandangan bahwa fungsi legislatif adalah:
1. Menetapkan
peraturan yang ditentukan secara tegas dalam syariat menjadi undang-undang.
2. Memutuskan salah satu penafsiran dari
pedoman-pedoman syariat yang punya kemungkinan penafsiran lebih dari satu.
3. Menegakkan hukum yang di syariatkan dengan
selalu menjaga jiwa hukum Islam.
4. Merumuskan
hukum suatu masalah yang berpedoman dan sifat dasarnya tidak diatur dalam
syariat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat syariat.
2. Kekuasaan Eksekutif.
Dalam pandang
abdul Kadir Audah berpendapat bahwa kekuasaan pembuat undang-undang dipegang
oleh ulil Amri dan Ahlu Ra’yi. Ulil amri disini adalah kumpulan dari umaroh dan
ulama.
Dalam suatu negara dalam Islam, lembaga eksekutif memiliki tujuan yaitu untuk menegakkan pedoman-pedoman Allah yang disampaikan melalui al-Qur’an dan Al-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari karakteristik lembaga eksekutif inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif non muslim.
Dalam teori
kedaulatan hukum, demokrasi, triaspolitika, bahkan teori kekusaan eksekutif
karena itu apabila kita menurut teori ini dan praktek negara Islam pertama ada
kemiripan dan perbedaan. Dalam membahas masalah kekuasaan eksekutif menurut
sistem negara Islam adalah istilah khilafah. Menurut al-Qur’an istilah khilafah
termuat dalam surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Jadi istilah
khalifah identik dengan istilah presiden dalam negara sekuler walaupun dalam
kriteria calon seorang presiden dan sistem pertanggung jawaban dalam negara
sekuler berbeda dengan pandangan Islam akan tetapi dalam pelaksanaan fungsi
eksekutif atau khalifa sama-sama mengutamakan kepentingan warga negara atau
umat dalam Islam.
2. Kekuasaan
Yudikatif.
Kekuasaan
kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan
permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan
mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan
persoalan-persoalan lain yang diperkarakan dipengadilan. Sedangkan tujuan
kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin
terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan
kedudukan hukum kepala Negara.
Ruang lingkup
lembaga Yudikatif (dalam terminology hukum Islam dikenal dengan Qhadhi), juga
di isyaratkan maknanya oleh pengakuan asas kedaulatan de jure oleh Allah SWT.
Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abdinya,
Rasulullah SAW berdiri yang menjadi hakim pertama negara tersebut dan beliau
melaksanakan fungsi ini selaras dengan hukum Allah: orang-orang melanjutkan
tidak memiliki aternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum
allah sebagaimana yang telah sampaikan kepada mereka oleh Rasulullah SAW.
Dalam al-Qur’an
membahas masalah ini yang mana uraian ini dimulai dengan sejarah Israil,
beranjak kesejarah orang-orang Kristen dan akhirnya kepada orang-orang Islam.
dinyatakan bahwa Tuhan telah menurunkan kepada Musa As dan sesudah itu kepada
rasul orang Israil dan Robi Yahudi menurutnya sebagai hukum dalam semua sektor
kehidupan untuk memutuskan perselisihan yang terjadi dikalangan rakyat sejalan
dengannya. Sesudah itu turunlah isa As dengan wahyu baru dan al-Qur’an
memberitahu kita bahwa para penganutnya tidak juga diwajibkan untuk memutuskan
urusan-urusan mereka sejalan dengan wahyu tersebut. Kemudian diceritakan oleh
Rasulullah dan Allah berfirman kepada beliau, dalam surat al-Hadid ayat 25
berbunyi:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(25)
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Sepanjang
penjelasan ini, dinyatakan dengan penuh tekanan bahwa orang-orang yang tidak
memutuskan perkara sesuai dengan hukum Allah adalah orang-orang kafir, dzhalim,
dan fasik. Setelah ini, harus ditekankan bahwa peradilan-peradilan hukum dalam
suatu negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan bukan untuk
melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua Negara
muslim.
C. Hubungan antara lembaga legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dalam pemerintahan Islam.
Dalam hal ini,
tidak terdapat perintah-perintah yang jelas. Tetapi konvensi-konvensi di masa
Rasulullah saw dan empat khalifah memberi kita cukup pedoman. Dan dari
pedoman-pedoman ini kita dapat menggali kesimpulan bahwa kepala negara Islam
merupakan pimpinan tertinggi dari semua lembaga yang berbeda ini. Rasulullah
saw menikmati kedudukan yang sama dan posisi ini di pertahankan oleh empat
khalifah yang lurus .
Tetapi di bawah
kepala negara, ketiga lembaga tinggi negara berfungsi secara terpisah serta
mandiri satu sama lainnya. Lembaga yang disebut ahl-al’aqd wa al aqd yang
bertugas memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah hukum,
pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah.
Kemudian ada pejabat eksekutif yang tidak mengurus masalah-masalah yudisial
yang harus diurus secara terpisah dan mandiri oleh para hakim
Dalam semua
masalah penting negara, seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian
peraturan-peraturan dalam berbagai masalah pemerintahan atau hukum khalifah mau
tidak mau harus berkonsultasi dengan ahl-al’aqd wa al aqd dan segera setelah
itu tercapai kesepakatan yang di isyaratkan. Maka lembaga itu bubar, hadir dan
melakukan pembelaan dihadapan qadi sebagaimana orang kebanyakan.
Dan hubungan
penegakan hukum dalam konvensi yang ditegakkan lembaga yudikatif di zaman
khalifah tidak membatasi kekuasaan legislatif atau paling tidak tak seorang pun
qadhi melakukan itu karena alasannya anggota legislatif pada zamannya memiliki
wawasan yang berbobot dan didasari al-qur’an, hadist dan khalifah merupakan
orang-orang yang diandalkan.
Untuk menjamin
bahwa legislatif akan menegakkan hukum tentang tidak bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadist maka lembaga legislatif membutuhkan otoritas untuk
membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadist.
Dan sedangkan
kedudukan yang benar dalam Islam untuk lembaga legislatif bukan hanya merupakan
lembaga penasihat kepala negara, yang nasehatnya dapat di terima dan ditolak
sesuai dengan kehendak kepala negara yang bersangkutan akan tetapi juga untuk
menegakkan hukum yang sesuai dengan al-Qur’an .
Dalam
menjalankan roda pemerintahan negara Madinah, nampaknya nabi Muhammad tidak
memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, dibawah
naungan al-Qur’an, nabi Muhammad saw menjalankan kekuasaan legislatif, beliau
menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah swt tersebut kepada masyarakat Madinah.
Untuk permasalahannya yang tidak diatur secara tegas oleh al-Qur’an, nabi
Muhammad yang mengaturnya. Rasulullah yang menentukan sendiri hukum terhadap
permasalahan yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an .
Untuk ,mengadili
pelanggaran-pelanggaran ketertiban umum, nabi membentuk lembaga hisbah. Lembaga
bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan
yang dilakukan oleh pedagang pasar dan bahkan tidak jarang nabi melakukan
inspeksi langsung ke tempat-tempat strategis.
Islam telah
mengkonsepkan bagaimana seharusnya hubungan antara ketiga lembaga itu. Satu
masalah pokok yang sering diangkut dalam tema hubungannya ialah tentang
kebebasan lembaga peradilan. Mengenai hubungan antara lembaga yudikatif dan
eksekutif, bentuk penegasannya tidak terlampau sulit, misalnya cara mengatur
kedudukan pengadilan dan cara mengangkat para hakim. Hakim dapat di angkat oleh
kekuasaan eksekutif atau oleh kekuasaan legislatif, atau dapat pula langsung
dipilih rakyat. Menurut cara yang umum dilakukan, pengangkatan hakim itu
dilakukan oleh kekuasaan eksekutif .
Para khalifah
adalah yang mengangkat hakim, namun mereka tetap bebas merdeka setelah ia di
angkat oleh khalifah untuk duduk dalam jabatannya. Hakim tetap berhak dan harus
memperlakukan khallifah seperti halnya rakyat biasa dan mengadili mereka
apabila ada gugatan. Indahnya gambaran hubungan antara hakim dan khalifah itu
dapat di angkat dari satu kisah sebagai berikut :
Demikian pula
Ali r.a pernah terlibat dalam suatu perkara dengan seorang non muslim yang
dilihatnya menjual baju besi milik Ali di pasar Kuffah, ia tidak merampasnya
dari tangannya, dalam kedudukannya sebagai Amirul Mu’minin dan kepala negara
pada waktu itu, tapi ia mengadu halnya kepada hakim. Dan ketika itu ia tidak
berhasil mengajukan suatu bukti atau saksi-saksi atas tuduhannya itu, sang
hakim menjatuhkan putusan yang merugikannya
D. Dasar pemerintahan Islam
D. Dasar pemerintahan Islam
Suatu
pemerintahan yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim harus mengindahkan
dasar-dasar yang telah diberikan oleh Nas syara’. Artinya suatu pemerintahan
dapat dikatakan pemerintahan Islam apabila didasarkan pada ajaranoslam . Dengan
demikian maka suatu pemerintahan Islam selalu harus mendasarkan politik dan
perundang-undangan kepada la-Qur’an dan Sunnah rasul.
Al-Qur’an dan
As-sunnah rasul telah memberikan nilai-nilai politik atau dasar-dasar
penyelenggara pemerintahan , adalah :
1. Syura
( musyawarah )
Dalam
dasar-dasar pemerintahan Islam, masyarakat dinilai sebagai lembaga yang penting
artinya persatuan kebijaksanaan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Islam
haruslah didasarkan azas masyarakat musyawarah . Dalam al-Qur’an disebutkan yang
terdapat pada surat Ali Imron ayat 159 tentang musyawarah, Allah berfirman :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ(159)
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Maksud dari
urusan diatas adalah urusan yang menyangkut peperangan hal-hal duniawiyah
lainnya seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan.
2. Keadilan
Syari’at Islam
menempatkan aspek keadilan pada posisi amat tinggi dalam sistem
perundang-undangan.
Keadilan dalam
Islam bersifat mutlak dan menyeluruh, baik terhadap diri sendiri maupun pada
orang lain atau pada sesama dan tidak boleh keadilan itu dipengaruhi oleh
hubungan kerabat, kebesaran dan kekuasaan juga oleh rasa benci atau permusuhan.
Dalam al-Qur’an disebutkan pada surat An Nahl ayat 90, Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ(90)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Dalam pandangan
Islam penyelenggaraan pemerintahan hanya bertujuan untuk melaksanakan keadilan
dalam arti yang seluas-luasnya, tidak saja keadilan hukum tetapi juga keadilan
sosial ekonomi. Dengan demikian kelompok masyarakat dapat dihindarkan.
3. Kebebasan
Islam mengakui
adanya kebebasan berfikir, bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai sebagai hak
dasar setiap manusia. Adanya kebebasan ini ditandai dengan firman Allah sebagai
dasarnya kebebasan dalam memilih. Terdapat adalah surat al hajj ayat 18, Allah
berfirman :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ(18)
Artinya: Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
Semua makhluk
dimuka bumi dan langit kecuali manusia sujud kepada Allah. Karena prinsip
kebebasan memilih yang di berikan kepada manusia itulah, sebagian beriman dan
tunduk bersujud kepada Allah. Sebagian lagi inkar atau kafir.
4. Persamaan
Persamaan yang
dimaksud adalah salah arti sah bukan faktual yaitu manusia itu berdiri sama di
depan hukum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal usul, bahasa, keyakinan,
pangkat atau latar belakang sosial, dimana masing-masing orang dimintai sesuai
dengan kemampuannya, kepada masing-masing diberikan sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam al-Quran disebutkan surat al Hujurat ayat13, Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Prinsip
persamaan yang ada dalam Al-qur’an dan As-sunnah Islam itu merupakan prinsip
dasar dari sistem hukum Islam dan karenanya menjadi salah satu dari norma-norma
umum dalam ajaran Islam. Dari dasar itulah, prinsip- prinsip tersebut di
kembangkan dalam segala aspeknya.
Dengan dasar,
baik Rasulullah maupun sahabt-sahabat beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar bin
Khatab memerdekakan budaknya. Yaitu untuk menunjukkan bahwa persamaan derajat
dijamin dalam masyarakat Islam.
5. Pertanggung
jawaban pemerintah terhadap rakyatnya.
Pemerintah
adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Jabatan ini dimaksudkan
agar ia dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan syariatnya serta
membimbingnya ke jalan kemaslakhatan dan kebaikan, mengurus kepentingan secara
jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat . Dalam
al-quran disebutkan dalam surat al An’am ayat 163, Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(165)
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Disusun untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah Islam Untuk
Disiplin Ilmu
oleh
GALIH YUDA ARIANTO 41032151111005
LUTFIA AFIFAH 41032151111026
NENY NURAENY 41032151111018
TATI SURYATI 41032151111023
0 komentar:
Posting Komentar