Malam ini rasanya saya sangat merindukan masa kecil saya.
Di tengah malam. Di atas kasur tipis ditemani gelapnya malam. Aku hanya mampu terbaring dengan lamunan yang tak pasti. Semua kenangan manis dulu seakan menjepit, mencengkram. Memginhatkanku pada masa lalu yang begitu indah. Sunyi malam mendorong seluruh memori untuk masuk. Tak terasa air matapun jatuh membasahi pipi dengan lembut.
Di tengah malam. Di atas kasur tipis ditemani gelapnya malam. Aku hanya mampu terbaring dengan lamunan yang tak pasti. Semua kenangan manis dulu seakan menjepit, mencengkram. Memginhatkanku pada masa lalu yang begitu indah. Sunyi malam mendorong seluruh memori untuk masuk. Tak terasa air matapun jatuh membasahi pipi dengan lembut.
Kini lamunanku berhenti di saat aku masih merasakan indahnya masa kanak2ku. Berlari bersama kawan di sebuah taman bambu. Bermain permainan tradisional dengan gembira dan suka cita. Bersepeda mengitari kampung halaman yang elok. Tersenyum bahagia tanpa beban dan tak ada satupun msalah yang menyulitkan langkah.
Lamunanku mulai kembali melaju seiring dengan hari yang kian berganti. Hamparan sawah yang elok mulai berganti bangunan pencakar yang tak sampai ke langit. Taman bambu trmpat kami nercerita kini menjadi lahan perumahan dan berganti pemilik. Lapangan kosong tempat kami bermain galah kini berdiri bangunan kokoh. Pagipun bak siang yang panjang. Tak ada udara segar. Tak ada kicauan burung yang mengajak kami untuk bermain. Tak ada tumput yang memanjang hingga menyembunyikan duka dan masalah kami. Kini semua tampak jelas. Bahkan sawah tempat para ibu dan emak berauka cita di pagi hari ini telah punah.
Hari berganti hari. Tahun dan bulan turut berganti. Masa putih merah sudah berganti dengan putih biru dan putih abu. Masa putih metahku sungguh ceria. Tak akan pernah terlupa sampai rambut memutih atau bahkan sampai kaki ini tak mampu berjalan. Terkadang aku hanya tersenyum mengingat masa putih abu yang begitu manis. Semua anak bersama. Tanpa ada pembeda bahkan pria dan wanita semua satu dalam tawa dan suka cita. rumput liar tak pernah kami lupakam dalam permainan kami. Bahkan batu bata akan menjadi bagian dari keindahan yang kami lakukan bersama.
Masa putih biru. Kini kami mulai menjauh. Tapi hanya sedikit. Mungkin hanya setengah jengkal jari tanganku. Mulai ada pemisah antara lelaki dan wanita. Kami mulai asyik dengan permainan gender kami. Bahkan jarang kami bersama. Jarak yang memisahkan kami karena rutinitas yang berbeda. Dan waktu yang sempit untuk kita lalui bersama. Hanya sekedar sapa dan senyum serta canda yang terpenggal dengan jarak yang hanya seujung kuku. Masa putih biruku sungguh ceria. Disinilah aku mulai menyukai lawan jenisku. Rasanya seperti menjadi tokoh utama dalam dunia perfilm-an. Rasanya selalu bahagia. Ingin selalu kembali ke sekolah dan menghabiskan waktu yang lama di sekolah hanya untuk menatapnya. Kada aku selalu bergumam. Beginikah rasanya jatuh cinta?. Tapi kini aku rasa itu hanyalah cinta monyet dan hanya akan menjadi cerita manis yang permah aku lalui. Selain cinta. Ku dapatkan sahabat baik. Bukan hanya satu. Tapi 3 sahabat baik. Satu sahabat pulang fan pergi sekolah. Satu sahabat setia sampai mati. Dan satu sahabat yang saat ini sudah sulit untuk ditemui.
Putih biru takan terlupakan walau telah berganti putih abu. Disini ku dapatkan pengalaman lebih banyak di luar rumah. Banyak hal yang ku lalui. Ku miliki seorang sahabat setia oh tidak, lebih dari seorang sahabat. Bak buku diary aku selalu mencurahkan isi hati padanya. Kehidupanku banyak ku habiskan di luar rumahku. Ini membuatku semakin jauh dari kawan2 di kampungku. Tak ada lagi kata bermain bersama. Bahkan rumput liae kini hanis bukan kami yang menggunakan. Tapi karena domba2 tetangga yang memakannya lahap. Jarak ini kini terpisah oleh gedung2 tinggi berdiri tepat dilapangan kami biasa bermain.
Putih abu. Ya masa-masa yang nano nanoo. Semua masa puber ku habiskan di putih abu ini. Cinta. Ya tentu saja pernah aku rasakan juga. Sahabat tentu saja ku miliki. Bahkan semua pengalaman berharga pernah ku miliki dan aku rasakan. Masa dimana aku mulai merasakan pacaran. Suka-sukaan. Ngeceng di jam istirahat pernah aku alami. Berganti cintapun aku rasakan saat bajuku putih abu.
Pacaran tanpa direstui. Itulah yang terjadi. Tapi kami tidak cepet memutuskan ikatan yang telah terjadi. Kami berencana menutupi hubungan kami dan mengumpat, sert bersembunyi dari buasnya keadaan. Cinta sembunyi2 ini berjalan cukup lama. 3 tahun sudah kebersamaan kita. Diakhiri dengan sangat tidak baik. Dan hati ini lelah hingga datanglah sang pemilik perban hingga hati mulai mengeringkan luka yang sempat ditasakan. Kami memutuskan bersama. Bukan dengan si pembuat luka tapi dengan si pemilik perban yang baik hati. Aku kira sosok si nomor 3 akan menjadi pengering luka hati. Namun si nomor 3 hanyalah plester yang hanya berfungsi untuk menutup luka sementara. Upsi. Si nomor 3 adalah kecengan yang menjadi pelarian ketika aku rasakan sakit hati. Di masa putih abu begitu banyak yang kurasakan. Cinta. Persahabatan. Suka2an. Centil2an. Bahkan merasakan sakt hati untuk yang pertama kalinya sekaligus yang paling sakit yang pernah aku rasakan.
Inilah perjalanan hidup hanya sekilas perjalannanku sampai ku rasakan putih abu. Kini aku sudah mengenakan almamater merah yang menjadi kebangganku.
0 komentar:
Posting Komentar